NUSA TENGGARA TIMUR, Mediacentralnews.com – Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XIV Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang digelar pada 18–25 September 2025 di Gedung MPL Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, dengan tema “Daulat Rakyat Meneguhkan Ekonomi Nusantara untuk Keadilan Ekologis” menyisakan polemik serius.
Proses pemilihan Direktur Eksekutif Nasional (EN) periode 2025–2029 dituding cacat prosedur dan berpotensi mencederai integritas organisasi. Sabtu (27/9/25)
Andi Makkasau, peserta peninjau dari Dewan Daerah WALHI Sulawesi Barat, menegaskan bahwa panitia pengarah (SC) semestinya menyadari adanya pelanggaran administratif dalam proses pemilihan.
Menurutnya, hal tersebut bertentangan dengan Statuta WALHI serta Surat Keputusan (SK) Panitia Pengarah.
“Mestinya Panitia Pengarah atau SC PNLH XIV WALHI menyadari dan mengakui kenyataan adanya cacat prosedural administrasi pada pemilihan Direktur EN WALHI. Karena tidak berdasarkan Statuta dan SK Panitia Pengarah, juga jauh dari harapan dalam merawat regenerasi kepemimpinan gerakan,” tegasnya.
Berdasarkan SK Panitia Pengarah PNLH XIV WALHI Nomor 07/PP/PNLH-XIV/VIII/2025, telah ditetapkan empat calon Direktur Eksekutif Nasional dan tujuh calon Dewan Nasional periode 2025–2029 setelah melalui tahapan verifikasi administrasi, uji publik, dan uji kompetensi.
Namun, dalam proses penyampaian visi-misi, dua calon Direktur EN menyatakan mundur secara lisan tanpa menyerahkan surat resmi kepada panitia.
Dukungan mereka dialihkan ke calon lain, namun tidak diikuti dengan pembatalan SK lama dan penerbitan SK baru sebagaimana aturan organisasi.
Andi Makkasau menilai prosedur tersebut mengabaikan prinsip transparansi, keterbukaan, dan akuntabilitas.
“Jika sudah ada pengunduran diri, mestinya panitia mengesahkan, kemudian membuat SK baru dan membacakannya di forum PNLH. Namun itu tidak dilakukan. Akibatnya, kesan yang muncul adalah integritas organisasi dipertaruhkan,” ujarnya.
Ia menambahkan, suksesi kepemimpinan WALHI sejatinya merupakan konsolidasi politik organisasi untuk memastikan arah perjuangan tetap berpijak pada nilai-nilai keadilan ekologis, kedaulatan rakyat, dan keberlanjutan.
“Suksesi di WALHI sebaiknya tidak menggunakan politik kotor. Kalau aturan organisasi dilemahkan, maka uji kompetensi, uji publik, hingga keputusan kolektif hanya jadi formalitas semata,” tegasnya.
Polemik ini mencuat di tengah harapan besar agar WALHI tetap konsisten sebagai rumah besar gerakan lingkungan hidup dan rakyat, yang melahirkan pemimpin dari proses kolektif, bukan dari ambisi personal. (*Red)