MAMASA, Media Central News.com – Hak-hak minoritas semisal Penganut Kepercayaan telah diakomodasi dalam regulasi di Indonesia. Salah satunya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XIV/2016, tentang Pengujian terhadap Undang-Undang Administrasi Kependudukan.
Dasar hukum ini memberikan pengakuan dan perlindungan dalam kebebasan memilih dan memeluk agama yang diyakini.
Ada’ Mappurondo adalah ajaran kepercayaan atau Penghayat Kepercayaan yang telah berurat dan berakar di wilayah Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat.
Masyarakat yang menganut kepercayaan ini tersebar sedikitnya di 25 desa dari 17 Kecamatan.
Hal itu merujuk dari catatan akademis Hendry Jonatan Manase dalam buku Mappurondo, tentang Kepercayaan Tertua di Sulawesi Barat, pada tahun 2016 lalu.
Perkumpulan Pendidikan Agraria dan HAM (PAHAM) menginisiasi kegiatan dialog kebudayaan di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, Kamis, 12 September 2024.
Dialog atau bincang-bincang oleh Paham mengajak lembaga di pusat selaku mitra, yakni Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI.
Dari lembaga kemitraan di Jakarta itu mengutus Yasir Sani, Manager Program Kemitraan. Di Mamasa, sang pengampuh yakni Ketua Penghayat Kepercayaan Ada’ Mappurondo, untuk menjadi narasumber.
Dialog kebudayaan ini dilaksanakan sehari di aula Hotel Sajojo, Mamasa kota. Kamis, 12/09/2024.
Menariknya, panitia pelaksana menghadirkan tiga pasangan calon kepala daerah (cakada) yang akan berkontestasi di Pilkada Mamasa 2024.
Masing-masing yang hadir selaku Narasumber adalah Welem Sambolangi (balon bupati, tandemnya H. Sudirman, balon wakil bupati), Andi Faridha Fachri (balon wakil bupati, berpasangan Ruslan, balon bupati), dan David Bambalayuk (balon wakil bupati, tandemnya Robinson Paul Tarru, balon bupati).
Ketiga pemateri itu diberi kesempatan memaparkan pemahaman dan komitmen mereka untuk pengakuan, setia merawat kelangsungan hidup Penghayat Kepercayaan Mappurondo di Kabupaten Mamasa.
Rupanya, mereka bersepakat kelak ketika jadi Bupati atau Wakil Bupati, akan menelorkan regulasi sebagai panduan hukum hidup Ada’ Mappurondo di Kabupaten Mamasa. Apakah itu berupa Keputusan Bupati atau bahkan pada level peraturan daerah (perda).
Sepanjang Orde Baru, labelisasi Mappurondo tak mengenakkan. Sebut misal penyebutan Tomalillin (tak beragama), umat pinggiran, atau stigmatisasi lainnya yang memosisikan komunitas Hadat tua ini termarjinalkan, terutama kehilangan hak setara dengan pemeluk agama-agama Samawi di Indonesia.
Dialog kebudayaan ini sekaligus menjadi momentum yang sangat penting bagi komunitas Mappurondo yang ada di Kabupaten Mamasa. (**)
Laporan : Irmayanti