POLEWALI MANDAR, Media Central News.com – Perayaan Hari Kemerdekaan ke-80 tahun 2025 kembali diramaikan dengan upacara bendera, pidato, dan semarak parade. Namun, di balik gegap gempita tersebut, muncul pertanyaan kritis: apakah rakyat benar-benar merdeka, atau justru masih terbebani kewajiban fiskal yang kian menekan?
Secara teori, pajak adalah kontrak sosial antara rakyat dan negara. Rakyat menyerahkan sebagian kekayaan demi kesejahteraan bersama, sementara negara berkewajiban mengembalikannya dalam bentuk pelayanan publik.
Namun, kenyataan di lapangan kerap berbeda. Banyak warga merasa pajak hanya menjadi beban, bukan instrumen keadilan.
Akademisi dan pengamat kebijakan daerah, Muh. Sukri, menilai momentum Hari Kemerdekaan seharusnya dijadikan refleksi atas makna pajak.
“Di hari kemerdekaan, pajak seharusnya hadir sebagai simbol solidaritas nasional. Ia bukan sekadar pungutan, tetapi bukti bahwa kita merdeka dari ketidakadilan struktural. Jika pajak hanya jadi beban tanpa manfaat nyata, ia kehilangan ruh dan makna filosofisnya,” ujarnya. Sabtu (16/8/25)
Dalam perspektif filsafat politik, Plato menegaskan keadilan lahir ketika penguasa menggunakan kekuasaan demi kepentingan rakyat.
Sementara Rousseau menyebut negara sebagai kontrak sosial yang sah hanya jika menguntungkan warga. Jika negara memungut pajak tanpa transparansi, maka rakyat melihatnya bukan sebagai gotong royong, melainkan sekadar pungutan paksa.
Pertanyaan besar pun mengemuka: apakah kemerdekaan hanya berhenti pada simbol politik, sementara rakyat masih “terjajah” secara ekonomi? Immanuel Kant menggambarkan negara ideal sebagai Rechtsstaat—negara hukum yang bermoral, transparan, dan adil.
Dalam konteks pajak, setiap rupiah yang dipungut semestinya kembali dalam bentuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan perlindungan sosial.
Krisis kepercayaan fiskal kini menjadi ancaman serius. Masyarakat merasa bekerja keras hanya untuk membiayai birokrasi yang boros atau elite yang korup.
Akibatnya, pajak tidak lagi dipandang sebagai kontribusi sukarela membangun negeri, melainkan pungutan yang menambah beban hidup.
Solusi yang ditawarkan para akademisi adalah penerapan prinsip visible return, yakni hasil pajak yang nyata dan dirasakan langsung rakyat.
Jalan mulus, sekolah terjangkau, layanan kesehatan memadai, serta perlindungan sosial adalah bentuk konkret “bendera kedua” yang dikibarkan di hati masyarakat.
Hari kemerdekaan, dengan demikian, bukan sekadar pesta seremonial, melainkan momentum refleksi: apakah bangsa ini sungguh merdeka, atau sekadar bebas dari penjajah asing namun masih terikat pada ketidakadilan fiskal?
Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah Indonesia ke depan—apakah menjadi bangsa yang benar-benar adil, makmur, dan berdaulat, atau hanya merdeka di atas kertas. (*Red)