Berita  

Kenaikan PBB di Polman Dikecam Mahasiswa: Sah Secara Hukum tapi Tak Berpihak ke Rakyat

POLEWALI MANDAR, Mediacentralnews.com – Kebijakan penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang berimbas pada kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Polewali Mandar menuai kritik tajam dari kalangan mahasiswa.

Dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama DPRD, Selasa (26/8/2025), Serikat Mahasiswa dan Rakyat Polewali Mandar (Semarak) menilai kebijakan tersebut sah secara hukum, namun tidak memiliki legitimasi sosial, ekonomi, maupun politik.

“Secara hukum memang sah. Tapi itu tidak berarti sah secara sosial, ekonomi, dan politik. Faktanya, daya beli masyarakat terus menurun, sementara beban hidup semakin tinggi,” tegas salah satu perwakilan mahasiswa.

Mahasiswa menilai Pemkab Polman terlalu fokus mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD) ketimbang memperhatikan kesejahteraan masyarakat.

Mereka juga menolak argumen pemerintah yang menyebut kenaikan NJOP meningkatkan nilai aset warga.

“Betul nilai aset naik, tapi pajak ikut naik. Masyarakat kita hidup dari sawah, kakao, dan kebun, bukan dari menjual tanah,” ujar mereka.

Semarak juga membandingkan kebijakan Polman dengan daerah lain yang memilih tidak menaikkan PBB demi meringankan beban masyarakat pascapandemi.

“Banyak usaha tutup, banyak toko gulung tikar. Tapi di sini justru pajak dinaikkan,” kritiknya.

Mahasiswa menyinggung aspek hak asasi manusia (HAM) dalam kebijakan perpajakan, dengan mencontohkan DKI Jakarta yang memberi pembebasan pajak untuk tanah seluas 60 meter dan bangunan 32 meter pertama.

“Hunian adalah hak dasar. Jangan sampai rakyat terbebani pajak berlebihan,” jelasnya.

Mereka juga mempertanyakan konsistensi kebijakan pembebasan pajak untuk rumah sederhana di bawah 13,97 meter persegi yang diberlakukan tahun ini.

“Apakah pembebasan ini hanya berlaku tahun ini? Tahun depan rakyat tetap kena pajak? Jangan sampai kebijakan ini hanya untuk menutupi kenaikan sebenarnya,” tegas mereka.

Mahasiswa menduga kenaikan PBB dilakukan untuk menutup kekurangan PAD. Mereka menyoroti lemahnya pengelolaan potensi lain, seperti retribusi parkir.

“Target retribusi parkir tahun 2024 sebesar Rp5 miliar, tapi realisasinya tidak sampai Rp1 miliar. Kenapa kebocoran itu tidak diperbaiki dulu? Kenapa justru PBB yang dinaikkan?” ungkap mereka.

Mahasiswa mengibaratkan PBB sebagai “ikan di permukaan” yang mudah ditangkap, karena masyarakat relatif tertib membayar, sementara potensi PAD lain yang lebih besar dibiarkan tenggelam tanpa pengelolaan maksimal.

Selain substansi kebijakan, mahasiswa juga menyoroti teknis pelaksanaan RDP yang molor lebih dari dua jam tanpa pemberitahuan.

“Kami berharap undangan rapat ke depan bisa dihormati. Eksekutif dan legislatif posisinya sejajar, tidak ada yang lebih tinggi,” tandas mereka.

Menanggapi kritik tersebut, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Polman menegaskan penyesuaian NJOP bertujuan mengecilkan gap antara nilai pasar dan nilai pajak, tanpa menaikkan tarif PBB yang tetap 0,1 persen.

“Kebijakan ini tidak serta-merta membebani masyarakat. Justru kami memberi pembebasan bagi hunian dengan luas tanah 139 meter persegi dan bangunan sederhana tertentu. Ini bentuk keberpihakan pemerintah agar masyarakat kecil tidak terbebani,” jelas Kepala Bapenda Polman.

Pemkab menambahkan, penyesuaian dilakukan bertahap dengan klasifikasi wajib pajak, agar tidak terjadi diskriminasi antara warga perkotaan dan pedesaan. (*Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *